Jakarta, KompasOtomotif – Dyonisius Beti termasuk
orang sukses di masa muda. Saat usianya baru menginjak 34 tahun, anak
pedagang karet dari Jambi itu langsung dipercaya menjabat sebagai
Direktur Pemasaran di Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM). Dyon
dipercaya mampu mewakili keinginan Yamaha Jepang untuk memasukkan
ide-ide segar dari anak muda lokal.
Namun sayang, saat
semangatnya menggebu untuk memajukan perusahaan, situasi ekonomi di
Indonesia turun drastis akibat gejolak pada 1998 sampai dilanda krisis
moneter. Nilai tukar rupiah terjun bebas, dari Rp 2.500 per 1 dollar AS
sampai puncaknya mencapai Rp 17.000 per 1 dollar AS. Bunga bank pun naik
menjadi 5 persen.
”Saya bergabung tahun 1996, tau-tau krisis
mulai 1998-1999. Permintaan turun jauh, dari 1,7 juta unit menjadi hanya
400.000 unit Dollar atau tinggal 20 persennya saja. Setiap unit yang
kami jual saat itu rugi, perusahaan pun kolaps,” kenang Dyon.
Dua kunciPada
masa ini, ada dua hal yang dia ingat. Baginya, perusahaan boleh rugi
dan produksi bisa minim. Tapi, pabrik tak boleh tutup. Lulusan Teknik
Sipil ITB itu berpendapat, sekali tutup, kepercayaan masyarakat hilang.
”Karena masyarakat sudah beli jutaan produk Yamaha. Kalau
dealer
gak bisa suplai, bagaimana mereka lanjutkan bisnis? Mau servis gimana?
Fokusnya saat itu, pikirkan konsumen. Mati hidup kita tergantung
konsumen. Kalau kita khianati, besok-besok balik lagi udah
nggak percaya. Itulah kenapa, kami jaga, tetep produksi dan terbatas, tapi
aftersales harus jalan,” beber Dyon.
Hal lain yang dianggap penting saat itu adalah menjaga merek, karena sudah dibangun dengan susah payah.
Brand
atau merek dianggap sangat mahal, namun tak terlihat wujudnya. Sesuatu
yang baru meski pemodalnya kuat, belum tentu bisa berjalan mulus.
KompasOtomotif-donny apriliananda Dyonisius Beti harus melalui perjalanan berliku sebelum memimpin Yamaha Indonesia.
”Flashback”Semua teori itu ternyata tak didapatnya secara otodidak. Dyon lantas
flashback,
mengenang saat dirinya menimba ilmu pemasaran dengan kuliah S-2 sebagai
angkatan pertama Magister Management (MM) Universitas Indonesia (UI),
tahun 1989-1990, saat dirinya pertama diterima kerja seusai lulus dari
ITB.
Baginya, bekal dari Teknik Sipil tak cukup. ”Saya melihat
kekurangan saya. Teknik analisa lebih unggul, tapi kepekaan bisnis jelas
kurang. Ini harus diasah dan digabung,” ujar Dyon.
Selama kuliah
S-2 sembari kerja, Dyon ditempa masa sulit. Dirinya harus pandai-pandai
mengatur waktu untuk menyelesaikan tugas kuliah hingga menyiapkan diri
kembali segar saat ngantor. Dua tahun ”sengsara”, akhirnya lulus juga.
Diam adalah keputusanKembali
ke rumitnya permasalahan perusahaan saat itu, Dyon mendapatkan
pelajaran baru yang tak pernah dia duga. Di saat mengalami masa-masa
paling kritikal, penjualan turun dan perusahaan rugi, semangat muda Dyon
sangat berapi untuk segera keluar dari ”lingkaran panas”.
Dia
tak tahan karena penjualan begitu kecil dan berusaha mencari jalan
keluar. Semangat muda itu pun akhirnya diredam oleh nasihat dari orang
Jepang yang saat itu menjadi senior di Yamaha.
”Saya belajar dari
senior saya, Mr Nakajima. Suatu saat dia meminta saya ikut main golf
sembari mencari jalan keluar. Di sana saya hanya menemaninya, karena
tidak bisa. Setelah selesai, ya sudah, itu saja. Lalu apa kesimpulannya?
Saya tidak mengerti,” cerita Dyon lantas tertawa.
Ternyata, dari
situ Dyon belajar bahwa tidak melakukan apa-apa juga termasuk keputusan
penting sebagai jalan keluar. ”Saat krismon dan susah itu, produksi
banyak rugi, jual lebih banyak enggak bisa, daya beli susah.
You harus tunggu,” ucap Dyon.
Kadang-kadang,
lanjutnya, kita tidak tahan dalam suatu tekanan. Saat terjepit, banyak
manusia berontak. Namun, analisa Mr Nakajima saat itu yang diserap Dyon,
kondisi negara yang kacau, Presiden Soeharto belum
clear turun atau bertahan,
decision-nya adalah
stay, diam, atau menunggu.
Lalu, keputusan apa lagi yang diambil Dyon untuk membangkitkan Yamaha dari keterpurukan? Tunggu kisah selanjutnya.
sumber;kompas